Jumat, 04 Januari 2013

BENTUK KEPERCAYAAN MANUSIA TERHADAP SANG KHOLIQ


BAB I
PENDAHULUAN


A.      Latar Belakang
Zaman Jahiliyah merupakan zaman dimana orang-orang arab atau masyarakat pada umumnya belum menemukan kepercayaan yang sebenarnya, mereka masih memegang teguh tradisi nenek moyang. Seperti penyembahan-penyembahan pada bebantuan dan kayu. Aliran penyembahan mereka saling berbeda, setiap suku mempunyai satu atau lebih sesembahan, itulah yang menyebabkan mereka mempunyai bermacam-macam tuhan bahkan mencapai ratusan.
Semua manusia terlebih muslim tentu mengetahui bahwa tujuan dirinya diciptakan adalah untuk beribadah kepada sang  Maha pencipta, sebagaimana Allah berfirman :
وَمَاخَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56 )
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Qs. Adz-Dzariyaat : 56)
Bukan hanya pada masa jahiliyah saja banyak keberagaman kepercayaan, sekarang pun banyak sekali kepercayaan yang menyimpang aqidah seperti  kepercayaan animisme yaitu sebuah paham yang berdasarkan keyakinan pada peranan makhluk halus atau roh-roh anima.
Banyak tradisi yang mengandung unsur kesyirikan yang tumbuh di sekitar lingkungan masyarakat, seperti sedekah laut atau sedekah bumi yang dipersembahan selain untuk Allah. Melekat pula pada tradisi-tradisi yang tumbuh tersebut, keyakinan terhadap benda-benda magis, tanggal/bulan keramat tertentu atau tempat dan kuburan tertentu. Tumbuh pula budaya yang kental dengan kemaksiatan, seperti tari-tarian terutama yang dilakoni oleh para penari wanita yang mempertontonkan aurat atau mengumbar erotisme, pesta miras ketika sehari sebelum acara besar dimulai dan sebagainya.
Manusia sebagai insan beriman tidak bisa bersikap menyamaratakan semua tradisi adalah warisan budaya yang mesti dijaga, dan berdalih melestarikan budaya ketimuran, namun pada praktiknya justru menghidupkan tradisi-tradisi kesyirikan atau kemaksiatan. Serta tidak bisa mempraktikkan tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dengan membumbuinya dengan bacaan Al-Qur’an atau shalawat hanya agar terlihat islami.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin mengangkat permasalahan yang terangkum dalam judul : “BENTUK KEPERCAYAAN  MANUSIA TERHADAP SANG KHOLIQ”

B.       Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis merumuskan masalah yang akan dibahas diantaranya :
  1. 1.    Apa pengertian dari kepercayaan?
  2. 2.    Sejak kapan bentuk kepercayaan manusia sudah berbeda?
  3. 3.    Apa hubungan dari kepercayaan (aqidah) yang berbeda ini  terhadap kehidupan?


C.      Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam karya tulis/paper ini sebagai berikut :
  1. 1.    Untuk mengetahui pengertian kepercayaan
  2. 2.    Untuk mengetahui sejarah dari bentuk kepercayaan yang sudah lama ada di bumi.
  3. 3.    Untuk mengetahui hubungannya terhadap kehidupan.


D.      Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan para pembaca dalam menelaah isi karya ilmiah ini maka penulis menyusun kepada tiga bab secara berurutan dengan perincian sebagai berikut :
BAB I             : PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II                        : TINJUAN PUSTAKA
Bab ini membahas pengertian kepercayaan, beragam bentuk kepercayaan pada masa jahiliyah disertai dalil pada al-qur’an dan hubungan kepercayaan (aqidah) terhadap kehidupan.
BAB III          : PENUTUP
Bab ini adalah bab terakhir yang memuat kesimpulan dan saran-saran dari sisi karya ilmiah ini yang penulis buat untuk meningkatkan mutu dan kulitas karya tulis ini.

BAB II
TINJUAN PUSTAKA


A.      Pengertian Kepercayaan
Menurut ilmu makna kata, pengertian kepercayaan mempunyai empat arti diantaranya adalah :
a.     Iman kepada agama
b.    Anggapan (keyakinan) bahwa benar sungguh ada, misalnya, kepada dewa-dewa dan orang-orang halus
c.     Dianggap benar dan jujur, misalnya orang kepercayaan
d.    Setuju kepada kebijaksanaan pemerintah atau pengurus
Kata kepercayaan menurut istilah (terminologi)di Indonesia pada waktu ini ialah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa diluar agama atau tidak termasuk kedalam agama (Rasyidi ; 1980)
A.L. Huxley di dalam bukunya The Parentual Philosphy seorang pengarang dan ahli filsafat menyebutkan empat arti, dua diantaranya adalah :
1.    Percaya / mengandal (kepada orang tertentu)
2.    Percaya (inggris : faith) kepada wibawa (dari para ahli di suatu bidang ilmu pengetahuan).[1]
Menurut kamus besar bahasa Indonesia kepercayaan adalah anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercaya itu benar atau nyata, biasanya orang yang mempunyai kepercayaan selain terhadap Allah SWT akan senantiasa memberikan sesuatu kepada apa yang dipercayainya.
Selain pengertian-pengertian diatas kepercayaan juga dapat diartikan dalam bahasa arab yaitu Aqidah. Aqidah berasal dari kata “aqada” artinya ikatan dua utas tali dalam satu buhul, sehingga bersambung. Aqad berarti pula janji, ikatan (kesepakatan) antara dua orang yang mengadakan perjanjian. Aqidah menurut terminologi adalah sesuatu yang mengharuskan hati membenarkannya. Membuat jiwa tenang, dan menjadi kepercayaan yang bersih dari kebimbangan dan keraguan. Istilah Aqidah masih bersifat umum untuk berbagai agama. Misalnya Aqidah trinitas pada kristen atau trimurti pada hindu dan sebagainya.
Aqidah islam dalam al-qur’an disebut iman. Ia bukan hanya berarti percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk berperilaku, karena itu, lapangan iman sangat luas bahkan mencakup segala sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh. Oleh karena itu, iman menurut Hadist Nabi Muhammad SAW didefinisikan sebagai berikut :

الإقرارباللسان والتصديق بالحنان والعمل باالأركان

“Mengucapkan dengan lisan, membenarkan dengan hati dan melaksanakan dengan segala anggota badan (perbuatan)”.
Seseorang dinyatakan beriman bukan hanya percaya terhadap sesuatu, melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan sesuatu sesuai dengan keyakinan tersebut. Karena itu, iman bukan hanya dipercayai atau diucapkan, melainkan bersatu secara utuh dalam diri seseorang yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Aqidah islam adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran islam. Hal ini wajib dipegang oleh seorang muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Aqidah islam atau iman mengikat seorang muslim sehingga ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari islam. Karena itu, menjadi seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang diatur dalam ajaran islam, seluruh hidupnya didasarkan kepada ajaran islam. Hal ini difirmankan Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُ (البقرة : 208 )

“Hai orang yang beriman masuklah ke dalam islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nayta bagimu”. (Qs. Al-Baqarah : 208)
Aqidah sebagai fondamen utama ajaran islam bersumber pada Al-Qur’an dan sunnah rasul. Dalam hal ini yang berkaitan dengan keyakinan tidak seluruhnya dapat ditemukan oleh kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya, manusia dapat mengetahui siapa yang mengatur dan menciptakannya, karena kemampuan akalnya sangat terbatas. Karena itu, untuk dapat mengetahuinya dibutuhkan informasi. Wahyu memberi tahu bahwa yang menciptakan alam raya ini adalah Allah. Demikian halnya, manusia mengetahui bahwa dalam kehidupan dunia ini, yang baik tidak selalu beruntung dan yang jahat tidak selalu mendapat hukuman. Ia memerlukan keadilan yang tidak bisa ditutupi. Disini manusia diberitahu  bahwa ada pengadilan yang akan digelar oleh Tuhan Maha Adil diakhirat nanti, lalu muncullah pengetahuan adanya surga dan neraka dan hal-hal lainnya yang bersifat gaib.
Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan ibadah sebagai konsekuensi dari adanya keyakinan atau aqidah yang memerlukan informasi yang hanya dapat diketahui manusia berdasarkan firman Allah atau sunnah rasul.[2]
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa kepercayaan mempunyai arti, diantaranya :
1.    Anggapan atau keyakinan terhadap sesuatu yang  memperngaruhi  sifat mental orang yang menyakininya.
2.    Mempunyai keyakinan terhadap sesuatu yang diharapkannya dapat dipenuhi atau diwujudkan oleh sesuatu yang telah ia yakini dan ia percayai keberannya.
3.    Anggapan bahwa sesuatu yang diyakininya adalah nyata dan benar , dapat mempengaruhi sikap batin seseorang.
4.    Dalam agama islam istilah kepercayaan mengandung arti yaitu aqidah yang berarti suatu paham kepercayaan atau keyakinan yang dianut seorang muslim.
3.    Beragam Bentuk Kepercayaan Pada Masa Jahiliyah Disertai Dalil Pada Al Qur’an
Pada zaman Rasulullah belum menjadi rasul banyak penduduk makkah dan bangsa Arab lainnya sudah menyembah tuhan-tuhan yang terbuat dari bebatuan dan kayu. Zaman dimana Rasulullah belum menjadi rasul adalah zaman dimana orang-orang  masih jahil akan keberadaan Sang Pencipta yang sebenarnya dan yang senyatanya justru akan mensejahterakan mereka di dunia terutama di akhirat, itupun jika mereka mempercayainya.
Berikut adalah beberapa ragam bentuk kepercayaan yang masih mereka pegang teguh dari tradisi nenek moyang :
1.    Manusia yang menyembah pohon dan batu, Allag berfirman :

أَفَرَءَيْتُمُ اللاَّتَ وَالْعُزَّى {19} وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى {20}

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al Uzza (Qs. Najm : 19), dan Mana yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)(Qs.Najm : 20)
Berlaku berhala bangsa Arab yang paling lama dan sangat dibanggakan adalah manat, patung ini terletak di tepi laut merah, sebelah kawasan Musyallal kota, antara Makkah dan Madinah. Disini, mereka selalu mempersembahkan kurba. Suku Aus merupakan suku Arab yang paling mengagungkan berhala Manat ini, mereka berangkat ke Mina untuk mendatanginya, lalu mereka mencukur rambut dan berdiri dihadapan berhala Manat. Mereka berkeyakinan bahwa ziarahnya tidak dianggap sempurna tanpa mengunjungi berhala Manat.
 Suku Tsaqif menyembah berhala Al-Lata yang berbentuk segi empat di Thaif, suku Arab lainnya pun menyembah berhala ini. Setelah Al-Lata, mereka menyembah Uzza, berhala Uzza merupakan berhala terbesar di kalangan suku Quraisy.[3]
Berhala ini merupakan pohon As-salam yang terletak di Lembah Nakhlah, antara Mekkah dan Thaif. Bahkan, di tempat tersebut didiami oleh jin, orang-orang yang jahil (tidak paham agama) akan beranggapan bahwa pohon tersebut bisa berbicara. Berhala ini adalah sesembahan orang-orang Quraisy dan penduduk Makkah yang musyrik serta orang-orang sekitar kota Makkah.[4]
Berhala uzza mempunyai tiga samurai (jenis pohon) di batang kurma dan setan saling berkomunikasi di belakang pohon tersebut. Kemudian, Rasulullah SAW memerintahkan Khalid bin Walid untuk menebang pohon tersebut setelah Fathul Makkah (pembebasan kota makkah) serta melibas habis penunggu tempat itu yang berdusta adalah jinniyah (jin wanita) hal itulah yang menyebabkan mereka berdusta terhadap Allah SWT bahwa lata dan uzza adalah wanita Allah SWT. Maha  suci Allah dari apa  yang mereka ucapkan.
Penegasan Al-Qur’an tentang berhala-berhala ini memiliki tekanan yang berbeda-beda. Terkadang berhala-berhala tampak dipandang sebagai malaikat-malaikat atau bahkan jin-jin, hal ini sangat pasti karena merupakan pandangan para pendengar pertamanya, tetapi di lain kesempatan berhala-berhala ini dikatakan hanya sekedar nama yang direka-reka oleh orang tanpa otoritas apapun. Juga harus dicamkan bahwa istilah “putri-putri Tuhan” yang diterapkan kepada tuhan-tuhan tertentu tidaklah menyiratkan adanya hubungan kekeluargaan seperti yang di temukan dalam mitologi Yunani, tetapi bermakna suatu hubungan yang lebih abstrak, penafsiran terhadap ungkapan “putri-putri Tuhan” ini secara kasarnya adalah “Makhluk-makhluk suci yang lebih rendah yang merupakan bawahan Tuhan tertinggi”, atau “makhluk-makhluk lebih rendah yang mendapat kualitas keilahian”.[5]
Asy-syikh Muhammad bin Abdul Wahhab R.A menjelaskan bahwa apa yang dipertuhankan oleh manusia sangat beragam diantaranya adalah :
2.    Ada diantara mereka yang menyembah para malaikat, Allah SWT berfirman :

وَلاَ يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا أَيَأْمُرُكُم بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ  (العمران : 80 )

“Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Rabb. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kefakiran di waktu kamu sudah (menganut agama) islam”(Qs. Ali Imran : 80)
3.    Ada diantara mereka menyembah para nabi, Allah SWT berfirman :

وَإِذْ قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي وَأُمِّىَ إِلاَهَيْنِ مِن دُونِ اللهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَايَكُونُ لِي أَنْ أَقُولَ مَالَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِي وَلآَأَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ (المائدة : 116 )

“Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman : “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia : “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang selain Allah”. ‘Isa menjawab : “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku (mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”. (Qs. Al-Maidah : 116)
Berdasarkan Imam Jalaluddin Al Mahali  dan Imam Jalaluddin As-Suyuti di dalam kitab Tafsir Jalalaini, sebagaimana halnya orang-orang sabi-in mengambil malaikat, orang-orang yahudi mengambil Uzair dan orang-orang nasrani mengambil Isa menjadi tuhan mereka,
4.    Ada juga diantara mereka yang menyembah orang-orang saleh. Allah SWT berfirman :

أُوْلَئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا (الإسراء : 57 )

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti”. (Qs. Al-Israa : 57)
Berdasarkan Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin As-Suyuti di dalam kitabnya Tafsir Jalalaini, mereka mencari jalan kepada Tuhan mereka dengan mendekatkan diri kepada Tuhan mereka dengan melalui ketaatan kepada-Nya artinya mencari jalan itu yang lebih dekat kepada Allah, maka mengapa mencarinya kepada selain-Nya.
5.    Di antara manusia ada pula yang menyembah matahari dan bulan. Allah SWT berfirman :

وَمِنْ ءَايَاتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لاَتَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلاَلِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (فصلت : 37 )

“Dan sebagian dari tanda-tanda kekeuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi bersujud kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah”.(Qs. Fushshilat : 37)
Mereka menganggap bahwa matahari adalah malaikat, dan ia memiliki jiwa serta akal, karena matahari adalah sumber cahaya bintang. Dan cahaya semua makhluk berasal darinya. Oleh karena itu, matahari berhak diagungkan, disembah, dan hendaklah mereka berdo’a kepadanya.
Mereka telah menjadikannya sebagai Tuhan, ditangannya terdapat mutiara berwarna api. Lalu mereka membangun sebuah rumah khusus untuknya, mereka menaburkan wewanginan, menghiasinya dengan tirai dan tiang-tiang, mereka melakukan sembahyang di dalam rumah itu tiga kali sehari.
Yang datang ke rumah itu adalah orang yang mempunyai hajat atau orang sakit, lalu mereka berdo’a, memohon kesembuhan dengan keberkahannya. Mereka pun berpuasa untuk matahari. Selain matahari, mereka juga melakukan rutinitas ini kepada semua bintang yang mengambil cahaya dari matahari. Dengan demikian, mereka tidak membatasi rububiyah (ketuhanan) pada matahari saja, tetapi mereka juga berbuat syirik dengan menyembah bintang, selain menyembah matahari.
Selain itu, mereka pun membuat berhala unta untuk memuja bulan dan di tangannya tergenggam perhiasan. Mereka menggantungkan nasib padanya sebagaimana mereka menggantungkan nasib pada matahari. Seperti, matangnya buah-buahan.
Bagi mereka yang menyembuh bulan, berpuasa separuh bulan masehi kedua, dan mereka tidak berbuka sampai bulan muncul. Kemudian, mereka mendatangi berhala dengan membawa makanan, minuman atau susu. Mereka berharap agar ia memenuhi segala kebuthan mereka. lalu mereka menatap ke bulan yang menjadi simbol berhala ini. Lantas mereka menyebutkan apa yang menjadi kebutuhan.
Pada saat purnama, mereka naik ke atap rumah dan menyalakan api, lalu berdo’a kemudian mereka turun kembali untuk menikmati makanan, minuman, pesta, berekspresi melihat bulan sesembahan mereka. dengan demikian mereka memiliki sesembahan selain bintang.[6]
6.    Bahkan manusia yang menyembah jin pun ada. Allah SWT berfirman :

قَالُوا سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِم بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ (سبا : 41 )

“Malaikat-malaikat itu menjawab : “Maha Suci Engkaulah pelindung kami bukan mereka ; bahkan mereka telah menyembah jin, kabanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (Qs. Saba : 41)

وَأَنَّهُ كَانَ رِجَالٌ مِّنَ اْلإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ رَهَقًا  (الجن : 6 )

“Dan bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka dosa dan kesalahan”.(Qs. Al-Jin : 6)
Jin adalah roh-roh halus seperti bayangan yang jarang mempribadi atau nama nyata. Mereka biasanya dipertalikan dengan padang pasir, reruntuhan atau tempat-tempat menyeramkan lainnya, serta mampu mengambil bentuk seperti binatang, ular dan binatang-binatang lain yang menjijikan. Secara tersamar mereka ditakuti, tetapi tidak selalu berhati dengki. Meskipun di ciptakan dari api, bukan dari tanah seperti manusia. Namun tujuan hidup mereka sama dengan manusia : mengabdi atau menyembah kepada Tuhan dan mereka bisa saja beriman atau kafir. Dijelaskan bahwa suatu saat sekelompok jin mendengar Nabi membaca Al-Qur’an, diantara mereka langsung menjadi muslim. Jin yang tidak beriman akan masuk neraka, tetapi tidak menjamin pula bahwa yang beriman akan masuk surga. Orang gila disebut majmun, yakni orang yang dipengaruhi oleh jin, tetapi terkadang jin membantu manusia memperoleh pengetahuan khusus.[7]
7.    Diantara manusia ada yang menyembah wanita dengan alasan bahwa mereka adalah induk manusia. Tuhan wanita yang paling terkenal adalah Ezis yang disembah pada  masa mesir kuno. Penyembahan pada wanita ini telah meluas ke Roma, lalu mereka mensucikan dan menjadikannya sebagai Tuhan. Selain ke Roma, penyembahan ini meluas ke negri lain.
8.    Di antara manusia ada pula  yang menyembah nenek moyang, lalu mensucikannya seperti Jepang dan Cina. Hingga saat ini masyarakat Jepang menyembahnya, selain penyembahan raja yang dianggap sebagai anak matahari. Adapun Cina menyembahan nenek moyang sampai sebelum meluasnya revolusi di negri itu.
9.    Ada pula yang menyembah binatang buas, karena takut keganasannya seperti singa dan ular. Penduduk mesir kuno pun menyembah dua hewan ini.
10.     Ada pula yang menyembah hewan-hewan yang bermanfaat sebagai wujud memuliakan manfaatnya seperti sapi.
11.     Ada pula yang menyembah sungai-sungai, penduduk Mesir yang menyembah sungai Nil dan ber-taqarub dengan melemparkan wanita yang paling cantik serta dihiasi dengan perhiasan dan pakaian yang indah agar menjadi permaisurinya.
Demikian pula penduduk india yang menyembah sungai gangga, mereka mengatakan bahwa air adalah sumber kehidupan, karena itu ia berhak disembah.
12.     Ada pula yang menyembah api, seperti penduduk parsi serta
13.     Menyembah kilat dan lain sebagainya
Terhadap segala bentukpenyembahan walau yang disembah berbeda satu dengan yang lain, Nabi SAW tidak membedakannya. Nabi SAW bahkan menerangi sagala bentuk kesyirikan. Sebagaimana dalam firman-Nya :

وَقَاتِلُوهُمْ حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ فَإِنْ انْتَهَوْا فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرُ (الأنفال : 39 )

“Dan perangilah mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha melihat apa yang mereka kerjakan”.(Qs. Al-Anfaal : 39)
Menurut Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz R.A, yang dimaksud fitnah dalam ayat ini adalah kesyirikan. Dengan demikian, maksud ayat tersebut adalah sampai tidak ada lagi perbuatan syirik kepada Allah SWT (syarah al-Qawa’id al-arba’, asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz. Hal. 21)
Tingkat kesyirikan yang diperbuat oleh orang-orang pada masa ini lebih rusak dan dahsyat. Kesyirikan yang dilakukan orang-orang zaman sekarang lebih berat dibandingkan dengan kesyirikan musyrikin Quraisy dahulu, orang-orang musyrik pada masa dahulu melakukan perbuatan syirik ketika dalam keadaan lapang dan tidak ditimpa oleh kesusahan. Jika ditimpa oleh kesusahan, mereka mengikhlaskan peribadahan (do’a) hanya kepada Allah SWT. Berbeda halnya dengan orang-orang musyrik masa kini. Mereka berbuat syirik, beribadah, berdo’a kepada selain Allah SWT kala ditimpa oleh kesusahan ataupun dalam keadaan lapang, tidak ada kesusahan yang menimpanya.[8]
Jika kita perhatikan kepercayaan manusia diseluruh dunia, maka kebanyakan mereka melupakan Allah SWT dan menyembah sesembahan yang lain. Pada dasarnya manusia memiliki sifat mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya telah memberikan manfaat, maka jangan heran bila kita menemukan bahwa ada yang menyembah matahari, bulan, bintang, malaikat, nabi, wanita dan sebagainya. Dikarenakan mereka itu sebenarnya masih mencari sesuatu yang patut mereka sembah. Pikiran mereka belum tertuju pada Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT. Oleh karena itu, agar mereka semua menyembah Tuhan yang Maha Esa yakni Allahuraabul aalamin, maka diperlukannya hidayah dan petunjuk Allah kepada mereka, agar mereka dapat berfikir, siapa yang menciptakan matahari, bulan, bintang dan sebagainya  yang selama ini mereka sembah, karena segala sesuatu itu sesungguhnya ada yang menciptakan.

C.      Hubungan Kepercayaan (Aqidah) terhadap Kehidupan
Kepercayaan yang berhubungan terhadap kehidupan ini adalah mengenai kepercayan terhadap agama atau bisa disebut dengan aqidah. Sesungguhnya aqidah manusia adalah dasar atas semua perilakunya dalam kehidupan. Oleh karena itu, maka aqidah mempunyai peranan yang paling besar dalam kehidupan individu dan sosial manusia.
Aqidah manusia dan cabang-cabangnya yang akan membatasi bentuk manusia dan perilakunya dan akan membentuk esensi batinnya dan eksistensi luarnya (tingkah lakunya) dan itu semua akan terlihat dalam perbuatan dan mengiringinya kepada arah kehidupannya. maka barang siapa yang aqidahnya benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada, maka jalan kehidupannya akan benar juga, tetapi jika aqidahnya tidak benar dan batil, maka jalan hidupnya tidak akan mengarahkannya kecuali ke arah kesesatan.
Agama Islam sangat memperhatikan dan menganggap sangat penting kebenaran aqidah sebelum segala sesuatu. Dan sangat jelas sekali bahwa tidak ada satu agama pun di atas agama islam dalam memperhatikan aqidah, maka aqidah menurut islam adalah sebuah barometer dalam mengukur tingkah laku dan perbuatan, sehingga perbuatan yang baik bisa dianggap hilang dari nilainya jika tidak didasari dengan aqidah yang benar.[9]
Dalam kehidupan masyarakat yang didasarkan oleh keyakinan agama, tidak jarang dijumpai suatu kehidupan yang mencerminkan kesetiakawanan dan solidaritas kelompok yang kuat, para anggota masyarakat yang memiliki rasa agama berusaha menampilkan sikap hidup yang luhur dan terpuji.
Seseorang yang menganut keyakinan islam akan terlihat menunjukkan sikap hormat ketika masuk ke masjid, ketimbang mereka yang menganut keyakinan lain. Sikap yang demikian juga akan dijumpai pada penganut agama lain saat memasuki rumah ibadahnya masing-masing. Bagi setiap penganut agama, rumah ibadah memberi pengalaman batin tersendiri yang dapat menimbulkan reaksi terhadap sikap dan tingkah laku masing-masing sesuai dengan keyakinan mereka. dan banyak contoh lain yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap dan tingkah laku dengan keyakinan yang dianut seseorang.[10]
Hubungan manusia dengan aqidah dalam kehidupannya dapat juga mempengaruhi kondisi jiwa yang tenang, seperti gelisah, resah, bingung dan sebagainya. Dalam al-qur’an (ajaran agama islam) disebutkan dengan jelas, bahwa dengan mengingat Allah jiwa manusia akan menjadi tenang, bahwa al-qur’an adalah petunjuk, sebagai obat dan sebagainya.[11]
Anak kecil yang baru tumbuh, dengan fitrah yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya, siap untuk menerima suatu kebenaran meskipun tanpa bukti-bukti, maka sampaikan kepadanya penjelasan aqidah hingga ia hafal. Setelah itu, ia akan memahaminya sedikit demi sedikit dan apa yang diajarkan akan meresap ke dalam hatinya.
Dengan demikian (orang tua) tidak lagi membutuhkan banyak bukti untuk menanamkan aqidah (kepada anaknya) dan tidak perlu tenggelam dalam alam pikirannya dalam mencari bukti-bukti kecuali hanya yang dibutuhkannya saja. Kebutuhan itu sendiri muncul jika ia dihadapkan kepada satu masalah dan hendak mencari jalan keluarnya.[12]
Berikut adalah beberapa hubungan kepercayaan (Aqidah) terhadap kehidupan, diantaranya :
1.    Hubungan antara akhlak dengan aqidah dan iman
Sesungguhnya antara akhlak dengan aqidah dan iman terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlak yang baik itu sebagai bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman. Semakin sempurna akhlak seorang muslim berarti kuat imannya, Rasulullah Alaihi Wa salam, bersabda :

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا

“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka”.
Akhlak yang baik adalah sebagian dari amal shalih yang dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan, pemiliknya sangat dicintai oleh Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam dan akhlak yang baik adalah salah satu penyebab masuk jannahnya seseorang.
Rasulullah SAW bersabda :

مامن شئ أثقل فى ميزان المؤمن يوم القيامة من خلق حسن

“Tidak ada sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin di hari kiamat dari akhlak yang baik”.
Beliau bersabda pula :

إن من أحبكم وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا

“Sesungguhnya di antara yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara kalian”.
Nabi SAW ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan manusia masuk jannah, maka beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang baik”.
Akhlak yang baik mencakup pelaksanan hak-hak Allah dan hak-hak makhluk. Sebagian manusia ada yang berpendapat bahwa dien islam itu adalah pergaulan yang baik kepada manusia semata, kejahatan terbesar adalah merugikan manusia, sehingga terlihat secara lahiriyah ia berperilaku baik kepada orang lain. Tetapi pada saat yang sama ia menyia-nyiakan hak Allah dengan berbuat syirik, kufur, bid’ah dan maksiat lainnya, ia berdosa kepada selain Allah, menyembelih hewan untuk dijadikan sebagai tumbal, menyia-nyiakan shalat, dan lain-lain. Ketika orang tersebut ditegur, ia mengatakan ini urusan pribadi dan orang yang berhak ditegur adalah orang yang menyakiti tetangga, mengambil hak orang lain, mecuri, korupsi dan lain sebagainya. Tidaklah ia tahu bahwa dosa syirik adalah sebesar-besar dosa dan Allah tidak akan mengampuninya kecuali jika pelakunya bertaubat.
Sebagaimana Allah berfirman :

إِنَّ اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا (النساء : 116)

“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan dia, Dan dia mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia lelah tersesat sejauh-jauhnya”.(Qs. An-Nisa : 116)
Disisi yang lain terdapat pula orang yang mengentengkan masalah akhlah terhadap sesama makhluk dengan menyangka bahwa dien itu semata-mata menunaikan hak Allah saja tanpa menunaikan hak makluk. Padahal sesungguhnya menunaikan hak makhluk adalah bagian dari menunaikan hak Allah, juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat antara keimanan dan akhlak kepada sesama makhluk.
Rasulullah SAW bersabda :

أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا

“Kaum mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara mereka”.
Dan Nabi Muhammad SAW bersabda :

من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت

“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah yang baik atau (kalau tidak bisa) hendaklah ia diam”.
Dan Nabi Muhammad SAW bersabda :

والله لايؤمن والله لايؤمن والله لايؤمن قيل ومن يارسول الله قال الذي لايؤمن جاره بوايقه

“Demi Allah seorang tidaklah beriman (beliau mengucapkannya tiga kali), mereka berkat, “Siapakah wahai Rasulullah ? “Beliau menjawab, “ Orang yang tetangganya tidak merasa aman dari gangguannya”.
Dan keterangan-keterangan lainnya yang menunjukkan lainnya yang menunjukkan bahwa seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir tidaklah berbuat aniaya kepada orang lain.[13]
2.    Hubungan Keimanan Kepada Tuhan Dengan Pendidikan
Keimanan kepada Tuhan memiliki hubungan yang erat dalam rangka mengembangkan pemikiran pendidikan. Hubungan tersebut dapat dikemukakan dengan analisis sebagai berikut :
1.    Berkaitan dengan visi, misi dan tujuan pendidikan
Iman kepada Tuhan akan mempengaruhi Visi pendidikan, yaitu menjadikan pendidikan sebagai sarana yang unggul dalam membentuk manusia yang dapat melaksanakan fungsinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Misinya antara lain membentuk manusia agar beribadah kepada Allah SWT. Manusia yang mengerjakan perbuatan yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Tujuannya adalah membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi pekerti yang luhur, menjadi hamba Allah SWT, menjadi orang yang seimbang dalam hubungannya dengan Tuhan dan dengan sesame manusia, manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, dan manusia yang berbudi pekerti mulia dan manus yang rela berjuang di jalan Allah SWT.
2.    Berkaitan dengan ideology pendidikan.
Iman kepada Tuhan akan menjadi landasan ideology pendidikan yang humanism teocentris, yakni pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan pada nilai-nilai yang berasal dari akal pikiran manusia, melainkan juga nilai-nilai yang didasarkan pada kehendak Allah SWT. Dalam islam pendidikan ditentukan oleh usaha manusia dan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, jika seorang guru berhasil melaksanakan pendidika, hendaknya tidak sombong, ia harus mengajak para muridnya terlebih dahulu berterima kasih kepada Tuhan, baru kemudian kepada guru, karena tuhanlah yang menciptakan dan memberi kemampuan mendidik kepada guru tersebut.
3.    Berkaitan dengan sifat dan karakter pendidik dan peserta didik
Iman kepada Tuhan mengharuskan para pendidik dan peserta didik memiliki sifat-sifat sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Jika manusia meyakini bahwa Allah SWT bersifat Maha Pengasih dan penyayang, Maha Mengetahui, Maha Kreatif, Maha Bijaksana, Maha Adil, dan seterusnya, maka sebaiknya manusia menghiasi dirinya dengan sifat-sifat tersebut, yakni menjadi manusia yang pengasih dan penyayang, meningkatkan dan mengembangkan ilmunya, kreatif dalam melahirkan gagasan dan karya-karya baru, bijaksana dan adil dalam membuat keputusan dan seterusnya.
4.    Berkaitan dengan sumber-sumber pendidikan
Iman kepada Allah SWT mengajarkan bahwa alam jagat raya dengan segala isinya berupa bumi, langit, gunung, tanah, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan benda-benda lainnya, seperti emas, perak, tembaga, platina, gas, minyak bumi, dan sebagainya adalah ciptaan-NYa. Semua itu harus dipergunakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendaknya, misalnya harus seimbang antara yang ditebang dengan yang ditanam atau yang digali dengan ditimbun, harus pula dengan ramah, tidak merusak, tidak mencemari, tidak boros dan tidak digunakan untuk berbuat dosa kepada-Nya, melainkan untuk beribadah kepada-Nya. Alam jagat raya yang demikian itulah yang selanjutnya digunakan sebagai sarana dan prasarana serta media dalam pendidikan.[14]
Adapun fungsi dari peranan aqidah sebagai berikut :
1.    Menuntun dan mengembangkan dasar ketuhanan yang dimiliki manusia sejak lahir
Manusia sejak lahir memiliki potensi keberagaman (fitrah) sehingga sepanjang hidupnya membutuhkan agama dalam rangka mencari keyakinan terhadap tuhan. Aqidah berperan memenuhi kebutuhan fitrah manusia tersebut, menuntun, dan mengarahkan manusia pada keyakinan yang benar tentang Tuhan, tidak menduga-duga atau mengira-ngira melainkan menunjukkan Tuhan yang sebenarnya.
2.    Memberikan ketenangan dan ketentraman jiwa
Agama sebagai kebutuhan fitrah akan senantiasa menurut dan mendorong manusia untuk terus mencarinya. Aqidah memberikan jawaban yang pasti sehingga kebutuhan ruhaniahnya dapat terpenuhi, ia memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa yang diperlukannya.
3.    Memberikan pedoman hidup yang pasti
Keyakinan terhadap Tuhan memberikan arahan dan pedoman yang pasti sebab aqidah menunjukkan kebenaran keyakinan yang sesungguhnya. Aqidah memberikan pengetahuan asal dan tujuan hidup manusia sehingga kehidupan manusia akan lebih jelas dan lebih bermakna.[15]
Aqidah islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan seorang muslim. Abu A’la Al Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid sebagai berikut :
a.     Menjauhkan manusia dari pandangan yang sempit dan picik
b.    Menanamkan kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
c.     Menumbuhkan sifat rendah hati dan khidmat
d.    Membentuk manusia menjadi jujur dan adil
e.     Menghilangkan sifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
f.     Membentuk pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimism
g.    Menanamkan sifat kesatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan tidak takut kepada maut.
h.    Menciptakan sikap hidup damai dan ridho
i.      Membentuk manusia menjadi patuh, taat dan disiplin dalam menjalankan peraturan ilahi
Aqidah atau iman yang dimiliki seseorang tidak selalu sama dengan orang lain. Ia memiliki tingkatan-tingkatan tertentu bergantung pada upaya orang itu. Iman pada dasarnya berkembang, ia bias tumbuh subur atau sebaliknya, iman yang tidak diperlihara akan berkurang, mengecil atau hilang sama sekali.
Tingkatan aqidah tersebut adalah :
a.     Taqlid, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas pendapat orang yang diikutinya tanpa dipikirkan
b.    Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas bukti dan dalil yang jelas, tetapi belum sampai menentukan hubungan yang kuat antara obyek keyakinan dengan dalil yang diperolehnya. Hal ini memungkinkan orang terkecoh oleh sanggahan-sanggahan atau dalil-dalil lain yang lebih rasional dan lebih mendalam.
c.     ‘Ainul Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas dalil-dalil rasional, ilmiah dan mendalam, sehingga mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang rasional terhadap sanggahan-sanggahan yang dating, ia tidak mungkin terkecoh oleh argumentasi lain yang dihadapkan kepadanya.
d.    Haqqul Yakin, yaitu tingkatan keyakinan yang disamping didasarkan atas dalil-dalil rasional, ilmiah, dan mendalam, dan mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang rasional dan selanjutnya dapat menemukan dan merasakan keyakinan tersebut melalui pengalaman agamanya.[16]
Adapun yang dapat menyempurnakan aqidah yang benar terhadap Allah adalah beraqidah dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan kepada para rasul dan percaya kepada para rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat jujur dan amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan mereka.
Aqidah yang benar kepada Allah harus diikuti dengan aqidah atau kepercayaan yang benar terhadap kekuatan jahat dan setan. Merekalah yang mendorong manusia untuk durhaka kepada Tuhan-Nya. Mereka menghiasi manusia dengan kebatilan dan syahwat, merekalah yang merusak hubungan baik yang telah terjalin kebatilan dan syahwat, merekalah yang merusak hubungan baik yang telah digariskan Allah dalam penciptaannya, agar dia dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang tidak mengikuti setan dan menyiksa orang yang menaatinya. Dan semua ini berlaku setelah Allah memperingatkan umat manusia dan mengancam siapa saja yang mematuhi setan tersebut.
Ketidak beresan dari adanya keresahan yang selalu menghiasi kehidupan manusia timbul sebagai akibat dari penyelewengan terhadap akhlak-akhlak yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Penyelewengan ini tidak akan mungkin terjadi jika ada kesalahan dalam beraqidah, baik kepada Allah, malaikat, rasul, kitab-kitab-Nya maupun hari akhir.[17]
Berdasarkan teori-teori diatas disimpulkan bahwa semua tindakan dan perbuatan yang kita lakukan harus didasari dengan ilmu dan kepercayaan sehingga segala perbuatan yang kita lakukan ada nilai dan kandungannya. Dengan kata lain bahwa peranan perbuatan baik ada manfaatnya dalam mencapai kesempurnaan. Manusia bergantung atas kebenaran aqidahnya, maka tidak cukup bagi manusia, dikatakan aqidahnya benar, padahal ia ingkar ataupun ragu-ragu terhadap aqidahnya. Sesungguhnya aqidah adalah pendorong utama bagi manusia untuk melakukan suatu pekerjaan. Dan keimanan kepada Tuhan merupakan inti ajaran seluruh agama di dunia dan menjadi bahan kajian dalam berbagai bidang ilmu, ini menunjukkan bahwa keimanan merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia.




BAB III
PENUTUP



A.      Kesimpulan
Kepercayaan merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang. Kepercayaan adalah sesuatu yang kita yakni kebenarannya dan ketentraman. Oleh karena itu, tidak ada manusia yang tidak memiliki kepercayaan di dalam dirinya karena keberadaannya sangat dibutuhkan untuk memperoleh ketentraman hidup. Di sebabkan kepercayaan itu diperlukan oleh manusia, maka banyak ditemui bentuk kepercayaan yang beraneka ragam di masyakarat.
Bukan hanya pada masa ini banyak dikemukan keberagaman kepercayaan, sejak masa jahiliyah ternyata banyak sekali keberagaman kepercayaan. Karena orang-orang Arab atau masyarakat pada umumnya pada masa jahiliyah ini belum menemukan kepercayaan yang sebenarnya, mereka masih memegang teguh tradisi nenek moyang seperti penyembahan pada bebatuan dan kayu, hal ini juga telah dijelaskan di dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kepercayaan di samping dianaut sebagai sebuah kebutuhan, sekaligus juga ia harus diyakini sebagai sebuah kebenaran. Kepercayaan itu harus kuat dan benar, sehingga dapat mendorong jiwa dan raga kea rah perbuatan-perbuatan yang diwajibkan dan dapat menjauhkan diri dari segala yang terlarang. Karena manusia bergantung atas kebenaran aqidahnya, maka tidak cukup bagi manusia dikatakan aqidahnya benar, padahal ia ingkar ataupun ragu-ragu terhadap aqidahnya, sesungguhnya aqidah adalah pendorong utama bagi manusia untuk melakukan suatu pekerjaan.
B.       Saran-saran
Sebagai akhir dari penulisan karya tulis ini, penulis ingin memberikan saran kepada para pembaca sebagai berikut :
1.    Hendaknya kita memperkuat iman dan menjauhi segala keyakinan, ungkapan dan perbuatan yang sesat dan menyesatkan.
2.    Kita harus menjaga aqidah kita karena setiap amal serta ucapan dipandang benar dan dapat diterima, hanya bila dengan aqidah yang benar.
3.    Semua tindakan dan perbuatan yang kita lakukan harus didasari dengan ilmu dan kepercayaan, sehingga segala perbuatan yang kita lakukan ada nilai dan kandungannya. Dengan kata lain, bahwa peranan perbuatan baik ada manfaatnya dalam mencapai kesempurnaan hidup.



DAFTAR PUSTAKA



Abuddin Nata, Haji. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat. Jakarta : Rajawali Pers
Anuz, Fariq Gasim. 2009. Bengkel Akhlak. Jakarta : Darus Sunnah
Ath-Thahir, Musthafa Muhammad Al-Hadidi. 2006. Percikan Cahaya Ilahi. Jakarta : Qisthi Press
Bell, Richard. 1995. Pengantar Studi Al Qur’an. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ghazali Imam. 2008. Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin. Jakarta : SAHARA Publishers
Hasan, Alwi. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Mahmud, Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta : Gema Insani Press
Muin, Abdul. 1997. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga Mutiara
Ramayulis, Haji. 2011. Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mutiara
Suharto, Rudhy. 2003. Renungan Jum’at ; Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Al-Huda
Sururin. 2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Syarifuddin, Abdul Faruq Ayib. Asy-syariah No 67/VI/1432 H/2010. Di Jogjakarta : Oase Media



[1] http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/19/bahkan -ajar-perkembangan-sistem-kepercayaan-masyarakat-indonesia/
[2] Drs. Abdul Muin. 1997. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga Mutiara. Hal 94-96
[3] Prof. Musthafa Muhammad Ath-Thaif. 2006. Percikan Cahaya Ilahi. Jakarta : Qisthi Press. Hal. 15
[4] Abdul Faruq Syafruddin. Asy-Syariah No. 67/VI/1432 H/2010. Di Jogjakarta : Oase Media. Hal. 7
[5] W. Mongtomery watt. 1995. Pengantar Studi Al-Qur’an / Richard Bell. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal. 235
[6] Prof. Musthafa Muhammad Ath-Thair. 2006. Percikan Cahaya Ilahi. Jakarta : Qisti Press, hal. 19
[7] W. Mongtomery Watt. 1995. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada. Hal. 243
[8] Abdul Faruq Ayib Syarifuddin. As-syariah No 67/VI/1432 H/2010. Jogjakarta : Oase Media, hal. 7
[9] Rudhy Suharto.2003. Renungan Jum’at Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Al Huda, hal. 42
[10] Prof. Dr. H. Ramayulis. 2011. Psikologi Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal. 8
[11] Sururin, M.Ag.2004. Ilmu JIwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal. 179
[12] Imam Ghazali. 2008. Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin. Jakarta : SAHARA Publishers, hal. 67
[13] Fariq Gasim Anuz. 2009. Bengkel Akhlak. Jakarta : Darus Sunnah, hal. 48
[14] Prof. Dr. H. Abuddin Nata, MA. 2012. Pemikiran Islam & Barat. Jakarta : Rajawali Pers, hal. 59-61
[15] Drs. Abdul Muin . 1997. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga Mutiara, hal. 96
[16] Drs. Abdul Muin. 1997. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga Mutiara, hal. 97
[17] Dr. Ali Abdul Halim Mahmud. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta : Gema Insani Press, hal. 84