BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Zaman
Jahiliyah merupakan zaman dimana orang-orang arab atau masyarakat pada umumnya
belum menemukan kepercayaan yang sebenarnya, mereka masih memegang teguh
tradisi nenek moyang. Seperti penyembahan-penyembahan pada bebantuan dan kayu.
Aliran penyembahan mereka saling berbeda, setiap suku mempunyai satu atau lebih
sesembahan, itulah yang menyebabkan mereka mempunyai bermacam-macam tuhan
bahkan mencapai ratusan.
Semua
manusia terlebih muslim tentu mengetahui bahwa tujuan dirinya diciptakan adalah
untuk beribadah kepada sang Maha
pencipta, sebagaimana Allah berfirman :
وَمَاخَلَقْتُ
الْجِنَّ وَاْلإِنسَ إِلاَّلِيَعْبُدُونِ (الذاريات : 56 )
“Dan Aku tidak
menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku”.(Qs. Adz-Dzariyaat
: 56)
Bukan hanya pada masa jahiliyah saja banyak keberagaman
kepercayaan, sekarang pun banyak sekali kepercayaan yang menyimpang aqidah
seperti kepercayaan animisme yaitu
sebuah paham yang berdasarkan keyakinan pada peranan makhluk halus atau roh-roh
anima.
Banyak tradisi yang mengandung unsur kesyirikan yang
tumbuh di sekitar lingkungan masyarakat, seperti sedekah laut atau sedekah bumi
yang dipersembahan selain untuk Allah. Melekat pula pada tradisi-tradisi yang
tumbuh tersebut, keyakinan terhadap benda-benda magis, tanggal/bulan keramat
tertentu atau tempat dan kuburan tertentu. Tumbuh pula budaya yang kental
dengan kemaksiatan, seperti tari-tarian terutama yang dilakoni oleh para penari
wanita yang mempertontonkan aurat atau mengumbar erotisme, pesta miras ketika
sehari sebelum acara besar dimulai dan sebagainya.
Manusia sebagai insan beriman tidak bisa bersikap
menyamaratakan semua tradisi adalah warisan budaya yang mesti dijaga, dan
berdalih melestarikan budaya ketimuran, namun pada praktiknya justru menghidupkan
tradisi-tradisi kesyirikan atau kemaksiatan. Serta tidak bisa mempraktikkan
tradisi yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman dengan membumbuinya
dengan bacaan Al-Qur’an atau shalawat hanya agar terlihat islami.
Berdasarkan latar belakang di atas maka penulis ingin
mengangkat permasalahan yang terangkum dalam judul : “BENTUK KEPERCAYAAN MANUSIA TERHADAP SANG KHOLIQ”
B.
Pembatasan dan Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka penulis
merumuskan masalah yang akan dibahas diantaranya :
- 1. Apa pengertian dari kepercayaan?
- 2. Sejak kapan bentuk kepercayaan manusia sudah berbeda?
- 3. Apa hubungan dari kepercayaan (aqidah) yang berbeda ini terhadap kehidupan?
C.
Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dalam karya tulis/paper ini sebagai
berikut :
- 1. Untuk mengetahui pengertian kepercayaan
- 2. Untuk mengetahui sejarah dari bentuk kepercayaan yang sudah lama ada di bumi.
- 3. Untuk mengetahui hubungannya terhadap kehidupan.
D.
Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah penulisan para pembaca dalam menelaah
isi karya ilmiah ini maka penulis menyusun kepada tiga bab secara berurutan
dengan perincian sebagai berikut :
BAB I :
PENDAHULUAN
Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan
dan perumusan masalah, tujuan penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II :
TINJUAN PUSTAKA
Bab ini membahas pengertian kepercayaan, beragam bentuk
kepercayaan pada masa jahiliyah disertai dalil pada al-qur’an dan hubungan
kepercayaan (aqidah) terhadap kehidupan.
BAB III :
PENUTUP
Bab ini adalah bab terakhir yang memuat kesimpulan dan
saran-saran dari sisi karya ilmiah ini yang penulis buat untuk meningkatkan
mutu dan kulitas karya tulis ini.
BAB II
TINJUAN PUSTAKA
A. Pengertian Kepercayaan
Menurut
ilmu makna kata, pengertian kepercayaan mempunyai empat arti diantaranya adalah
:
a. Iman
kepada agama
b. Anggapan
(keyakinan) bahwa benar sungguh ada, misalnya, kepada dewa-dewa dan orang-orang
halus
c. Dianggap
benar dan jujur, misalnya orang kepercayaan
d. Setuju
kepada kebijaksanaan pemerintah atau pengurus
Kata
kepercayaan menurut istilah (terminologi)di Indonesia pada waktu ini ialah keyakinan kepada Tuhan Yang Maha Esa
diluar agama atau tidak termasuk kedalam agama (Rasyidi ; 1980)
A.L. Huxley di dalam bukunya The Parentual Philosphy seorang
pengarang dan ahli filsafat menyebutkan empat arti, dua diantaranya adalah :
1.
Percaya / mengandal (kepada orang tertentu)
2.
Percaya (inggris : faith) kepada wibawa (dari para ahli
di suatu bidang ilmu pengetahuan).[1]
Menurut kamus besar bahasa Indonesia kepercayaan adalah
anggapan atau keyakinan bahwa sesuatu yang dipercaya itu benar atau nyata,
biasanya orang yang mempunyai kepercayaan selain terhadap Allah SWT akan
senantiasa memberikan sesuatu kepada apa yang dipercayainya.
Selain pengertian-pengertian diatas kepercayaan juga
dapat diartikan dalam bahasa arab yaitu Aqidah. Aqidah berasal dari kata
“aqada” artinya ikatan dua utas tali dalam satu buhul, sehingga bersambung.
Aqad berarti pula janji, ikatan (kesepakatan) antara dua orang yang mengadakan
perjanjian. Aqidah menurut terminologi adalah sesuatu yang mengharuskan hati
membenarkannya. Membuat jiwa tenang, dan menjadi kepercayaan yang bersih dari
kebimbangan dan keraguan. Istilah Aqidah masih bersifat umum untuk berbagai
agama. Misalnya Aqidah trinitas pada kristen atau trimurti pada hindu dan sebagainya.
Aqidah islam dalam al-qur’an disebut iman. Ia bukan hanya
berarti percaya, melainkan keyakinan yang mendorong seorang muslim untuk
berperilaku, karena itu, lapangan iman sangat luas bahkan mencakup segala
sesuatu yang dilakukan seorang muslim yang disebut amal saleh. Oleh karena itu,
iman menurut Hadist Nabi Muhammad SAW didefinisikan sebagai berikut :
الإقرارباللسان والتصديق بالحنان والعمل باالأركان
“Mengucapkan
dengan lisan, membenarkan dengan hati dan melaksanakan dengan segala anggota
badan (perbuatan)”.
Seseorang dinyatakan beriman bukan hanya percaya terhadap
sesuatu, melainkan kepercayaan itu mendorongnya untuk mengucapkan dan melakukan
sesuatu sesuai dengan keyakinan tersebut. Karena itu, iman bukan hanya
dipercayai atau diucapkan, melainkan bersatu secara utuh dalam diri seseorang
yang dibuktikan dalam perbuatannya.
Aqidah islam adalah dasar-dasar pokok kepercayaan atau
keyakinan hati seorang muslim yang bersumber dari ajaran islam. Hal ini wajib
dipegang oleh seorang muslim sebagai sumber keyakinan yang mengikat.
Aqidah islam atau iman mengikat seorang muslim sehingga
ia terikat dengan segala aturan hukum yang datang dari islam. Karena itu,
menjadi seorang muslim berarti meyakini dan melaksanakan segala sesuatu yang
diatur dalam ajaran islam, seluruh hidupnya didasarkan kepada ajaran islam. Hal
ini difirmankan Allah :
يَاأَيُّهَا
الَّذِينَ ءَامَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَآفَّةً وَلاَ تَتَّبِعُوا
خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينُ (البقرة : 208 )
“Hai orang yang
beriman masuklah ke dalam islam keseluruhannya dan janganlah kamu turut
langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nayta bagimu”. (Qs.
Al-Baqarah : 208)
Aqidah sebagai fondamen utama ajaran islam bersumber pada
Al-Qur’an dan sunnah rasul. Dalam hal ini yang berkaitan dengan keyakinan tidak
seluruhnya dapat ditemukan oleh kemampuan yang dimiliki oleh manusia. Misalnya,
manusia dapat mengetahui siapa yang mengatur dan menciptakannya, karena
kemampuan akalnya sangat terbatas. Karena itu, untuk dapat mengetahuinya
dibutuhkan informasi. Wahyu memberi tahu bahwa yang menciptakan alam raya ini
adalah Allah. Demikian halnya, manusia mengetahui bahwa dalam kehidupan dunia
ini, yang baik tidak selalu beruntung dan yang jahat tidak selalu mendapat
hukuman. Ia memerlukan keadilan yang tidak bisa ditutupi. Disini manusia
diberitahu bahwa ada pengadilan yang
akan digelar oleh Tuhan Maha Adil diakhirat nanti, lalu muncullah pengetahuan
adanya surga dan neraka dan hal-hal lainnya yang bersifat gaib.
Demikian pula hal-hal yang berkaitan dengan ibadah
sebagai konsekuensi dari adanya keyakinan atau aqidah yang memerlukan informasi
yang hanya dapat diketahui manusia berdasarkan firman Allah atau sunnah rasul.[2]
Berdasarkan teori diatas dapat disimpulkan bahwa
kepercayaan mempunyai arti, diantaranya :
1.
Anggapan atau keyakinan terhadap sesuatu yang memperngaruhi
sifat mental orang yang menyakininya.
2.
Mempunyai keyakinan terhadap sesuatu yang diharapkannya
dapat dipenuhi atau diwujudkan oleh sesuatu yang telah ia yakini dan ia
percayai keberannya.
3.
Anggapan bahwa sesuatu yang diyakininya adalah nyata dan
benar , dapat mempengaruhi sikap batin seseorang.
4.
Dalam agama islam istilah kepercayaan mengandung arti
yaitu aqidah yang berarti suatu paham kepercayaan atau keyakinan yang dianut
seorang muslim.
3.
Beragam Bentuk Kepercayaan Pada Masa Jahiliyah Disertai
Dalil Pada Al Qur’an
Pada zaman Rasulullah belum menjadi rasul banyak penduduk
makkah dan bangsa Arab lainnya sudah menyembah tuhan-tuhan yang terbuat dari
bebatuan dan kayu. Zaman dimana Rasulullah belum menjadi rasul adalah zaman
dimana orang-orang masih jahil akan
keberadaan Sang Pencipta yang sebenarnya dan yang senyatanya justru akan
mensejahterakan mereka di dunia terutama di akhirat, itupun jika mereka
mempercayainya.
Berikut adalah beberapa ragam bentuk kepercayaan yang
masih mereka pegang teguh dari tradisi nenek moyang :
1.
Manusia yang menyembah pohon dan batu, Allag berfirman :
أَفَرَءَيْتُمُ
اللاَّتَ وَالْعُزَّى {19} وَمَنَاةَ الثَّالِثَةَ اْلأُخْرَى {20}
“Maka apakah patut kamu (hai
orang-orang musyrik) menganggap Al-Lata dan Al Uzza (Qs. Najm : 19), dan Mana
yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)(Qs.Najm :
20)
Berlaku berhala bangsa Arab yang paling lama dan sangat
dibanggakan adalah manat, patung ini terletak di tepi laut merah, sebelah
kawasan Musyallal kota, antara Makkah dan Madinah. Disini, mereka selalu
mempersembahkan kurba. Suku Aus merupakan suku Arab yang paling mengagungkan
berhala Manat ini, mereka berangkat ke Mina untuk mendatanginya, lalu mereka
mencukur rambut dan berdiri dihadapan berhala Manat. Mereka berkeyakinan bahwa
ziarahnya tidak dianggap sempurna tanpa mengunjungi berhala Manat.
Suku Tsaqif
menyembah berhala Al-Lata yang berbentuk segi empat di Thaif, suku Arab lainnya
pun menyembah berhala ini. Setelah Al-Lata, mereka menyembah Uzza, berhala Uzza
merupakan berhala terbesar di kalangan suku Quraisy.[3]
Berhala ini merupakan pohon As-salam yang terletak di
Lembah Nakhlah, antara Mekkah dan Thaif. Bahkan, di tempat tersebut didiami
oleh jin, orang-orang yang jahil (tidak paham agama) akan beranggapan bahwa
pohon tersebut bisa berbicara. Berhala ini adalah sesembahan orang-orang Quraisy
dan penduduk Makkah yang musyrik serta orang-orang sekitar kota Makkah.[4]
Berhala uzza mempunyai tiga samurai (jenis pohon) di
batang kurma dan setan saling berkomunikasi di belakang pohon tersebut.
Kemudian, Rasulullah SAW memerintahkan Khalid bin Walid untuk menebang pohon
tersebut setelah Fathul Makkah (pembebasan kota makkah) serta melibas habis
penunggu tempat itu yang berdusta adalah jinniyah (jin wanita) hal
itulah yang menyebabkan mereka berdusta terhadap Allah SWT bahwa lata dan uzza
adalah wanita Allah SWT. Maha suci Allah
dari apa yang mereka ucapkan.
Penegasan Al-Qur’an tentang berhala-berhala ini memiliki
tekanan yang berbeda-beda. Terkadang berhala-berhala tampak dipandang sebagai
malaikat-malaikat atau bahkan jin-jin, hal ini sangat pasti karena merupakan pandangan
para pendengar pertamanya, tetapi di lain kesempatan berhala-berhala ini dikatakan
hanya sekedar nama yang direka-reka oleh orang tanpa otoritas apapun. Juga
harus dicamkan bahwa istilah “putri-putri Tuhan” yang diterapkan kepada
tuhan-tuhan tertentu tidaklah menyiratkan adanya hubungan kekeluargaan seperti
yang di temukan dalam mitologi Yunani, tetapi bermakna suatu hubungan yang
lebih abstrak, penafsiran terhadap ungkapan “putri-putri Tuhan” ini secara
kasarnya adalah “Makhluk-makhluk suci yang lebih rendah yang merupakan bawahan
Tuhan tertinggi”, atau “makhluk-makhluk lebih rendah yang mendapat kualitas
keilahian”.[5]
Asy-syikh Muhammad bin Abdul Wahhab R.A menjelaskan bahwa
apa yang dipertuhankan oleh manusia sangat beragam diantaranya adalah :
2.
Ada diantara mereka yang menyembah para malaikat, Allah
SWT berfirman :
وَلاَ
يَأْمُرَكُمْ أَن تَتَّخِذُوا الْمَلاَئِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا
أَيَأْمُرُكُم بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنتُم مُّسْلِمُونَ (العمران : 80 )
“Dan (tidak wajar
pula baginya) menyuruhmu menjadikan malaikat dan para nabi sebagai Rabb. Apakah
(patut) dia menyuruhmu berbuat kefakiran di waktu kamu sudah (menganut agama)
islam”(Qs. Ali Imran : 80)
3.
Ada diantara mereka menyembah para nabi, Allah SWT
berfirman :
وَإِذْ
قَالَ اللهُ يَاعِيسَى ابْنَ مَرْيَمَ ءَأَنتَ قُلْتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُونِي
وَأُمِّىَ إِلاَهَيْنِ مِن دُونِ اللهِ قَالَ سُبْحَانَكَ مَايَكُونُ لِي أَنْ
أَقُولَ مَالَيْسَ لِي بِحَقٍّ إِن كُنتُ قُلْتُهُ فَقَدْ عَلِمْتَهُ تَعْلَمُ مَا
فِي نَفْسِي وَلآَأَعْلَمُ مَا فِي نَفْسِكَ إِنَّكَ أَنتَ عَلاَّمُ الْغُيُوبِ
(المائدة : 116 )
“Dan (ingatlah)
ketika Allah berfirman : “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada
manusia : “Jadikanlah aku dan ibuku dua orang selain Allah”. ‘Isa menjawab :
“Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku
(mengatakannya). Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah
mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada
diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang ghaib-ghaib”.
(Qs. Al-Maidah : 116)
Berdasarkan Imam Jalaluddin Al Mahali dan Imam Jalaluddin As-Suyuti di dalam kitab
Tafsir Jalalaini, sebagaimana halnya orang-orang sabi-in mengambil malaikat,
orang-orang yahudi mengambil Uzair dan orang-orang nasrani mengambil Isa
menjadi tuhan mereka,
4.
Ada juga diantara mereka yang menyembah orang-orang
saleh. Allah SWT berfirman :
أُوْلَئِكَ
الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ
مَحْذُورًا (الإسراء : 57 )
“Orang-orang
yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Rabb mereka siapa
diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan
takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Rabbmu adalah sesuatu yang (harus)
ditakuti”. (Qs. Al-Israa : 57)
Berdasarkan Imam Jalaludin Al-Mahali dan Imam Jalaluddin
As-Suyuti di dalam kitabnya Tafsir Jalalaini, mereka mencari jalan kepada Tuhan
mereka dengan mendekatkan diri kepada Tuhan mereka dengan melalui ketaatan
kepada-Nya artinya mencari jalan itu yang lebih dekat kepada Allah, maka
mengapa mencarinya kepada selain-Nya.
5.
Di antara manusia ada pula yang menyembah matahari dan
bulan. Allah SWT berfirman :
وَمِنْ
ءَايَاتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لاَتَسْجُدُوا
لِلشَّمْسِ وَلاَلِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ
إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (فصلت : 37 )
“Dan sebagian
dari tanda-tanda kekeuasaan-Nya ialah malam, siang, matahari dan bulan.
Janganlah bersujud kepada matahari dan janganlah (pula) kepada bulan, tetapi
bersujud kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya kepada-Nya saja
menyembah”.(Qs. Fushshilat : 37)
Mereka menganggap bahwa matahari adalah malaikat, dan ia
memiliki jiwa serta akal, karena matahari adalah sumber cahaya bintang. Dan
cahaya semua makhluk berasal darinya. Oleh karena itu, matahari berhak
diagungkan, disembah, dan hendaklah mereka berdo’a kepadanya.
Mereka telah menjadikannya sebagai Tuhan, ditangannya
terdapat mutiara berwarna api. Lalu mereka membangun sebuah rumah khusus
untuknya, mereka menaburkan wewanginan, menghiasinya dengan tirai dan
tiang-tiang, mereka melakukan sembahyang di dalam rumah itu tiga kali sehari.
Yang datang ke rumah itu adalah orang yang mempunyai
hajat atau orang sakit, lalu mereka berdo’a, memohon kesembuhan dengan
keberkahannya. Mereka pun berpuasa untuk matahari. Selain matahari, mereka juga
melakukan rutinitas ini kepada semua bintang yang mengambil cahaya dari matahari.
Dengan demikian, mereka tidak membatasi rububiyah (ketuhanan) pada matahari
saja, tetapi mereka juga berbuat syirik dengan menyembah bintang, selain
menyembah matahari.
Selain itu, mereka pun membuat berhala unta untuk memuja
bulan dan di tangannya tergenggam perhiasan. Mereka menggantungkan nasib
padanya sebagaimana mereka menggantungkan nasib pada matahari. Seperti,
matangnya buah-buahan.
Bagi mereka yang menyembuh bulan, berpuasa separuh bulan
masehi kedua, dan mereka tidak berbuka sampai bulan muncul. Kemudian, mereka
mendatangi berhala dengan membawa makanan, minuman atau susu. Mereka berharap
agar ia memenuhi segala kebuthan mereka. lalu mereka menatap ke bulan yang
menjadi simbol berhala ini. Lantas mereka menyebutkan apa yang menjadi kebutuhan.
Pada saat purnama, mereka naik ke atap rumah dan
menyalakan api, lalu berdo’a kemudian mereka turun kembali untuk menikmati
makanan, minuman, pesta, berekspresi melihat bulan sesembahan mereka. dengan
demikian mereka memiliki sesembahan selain bintang.[6]
6.
Bahkan manusia yang menyembah jin pun ada. Allah SWT
berfirman :
قَالُوا
سُبْحَانَكَ أَنتَ وَلِيُّنَا مِن دُونِهِم بَلْ كَانُوا يَعْبُدُونَ الْجِنَّ
أَكْثَرُهُم بِهِم مُّؤْمِنُونَ (سبا : 41 )
“Malaikat-malaikat
itu menjawab : “Maha Suci Engkaulah pelindung kami bukan mereka ; bahkan mereka
telah menyembah jin, kabanyakan mereka beriman kepada jin itu”. (Qs. Saba : 41)
وَأَنَّهُ
كَانَ رِجَالٌ مِّنَ اْلإِنسِ يَعُوذُونَ بِرِجَالٍ مِّنَ الْجِنِّ فَزَادُوهُمْ
رَهَقًا (الجن : 6 )
“Dan
bahwasannya ada beberapa orang laki-laki di antara manusia meminta perlindungan
kepada beberapa laki-laki di antara jin, maka jin-jin itu menambah bagi mereka
dosa dan kesalahan”.(Qs. Al-Jin : 6)
Jin adalah roh-roh halus seperti bayangan yang jarang
mempribadi atau nama nyata. Mereka biasanya dipertalikan dengan padang pasir,
reruntuhan atau tempat-tempat menyeramkan lainnya, serta mampu mengambil bentuk
seperti binatang, ular dan binatang-binatang lain yang menjijikan. Secara
tersamar mereka ditakuti, tetapi tidak selalu berhati dengki. Meskipun di
ciptakan dari api, bukan dari tanah seperti manusia. Namun tujuan hidup mereka
sama dengan manusia : mengabdi atau menyembah kepada Tuhan dan mereka bisa saja
beriman atau kafir. Dijelaskan bahwa suatu saat sekelompok jin mendengar Nabi membaca
Al-Qur’an, diantara mereka langsung menjadi muslim. Jin yang tidak beriman akan
masuk neraka, tetapi tidak menjamin pula bahwa yang beriman akan masuk surga.
Orang gila disebut majmun, yakni orang yang dipengaruhi oleh jin, tetapi
terkadang jin membantu manusia memperoleh pengetahuan khusus.[7]
7.
Diantara manusia ada yang menyembah wanita dengan alasan
bahwa mereka adalah induk manusia. Tuhan wanita yang paling terkenal adalah
Ezis yang disembah pada masa mesir kuno.
Penyembahan pada wanita ini telah meluas ke Roma, lalu mereka mensucikan dan
menjadikannya sebagai Tuhan. Selain ke Roma, penyembahan ini meluas ke negri
lain.
8.
Di antara manusia ada pula yang menyembah nenek moyang, lalu
mensucikannya seperti Jepang dan Cina. Hingga saat ini masyarakat Jepang
menyembahnya, selain penyembahan raja yang dianggap sebagai anak matahari.
Adapun Cina menyembahan nenek moyang sampai sebelum meluasnya revolusi di negri
itu.
9.
Ada pula yang menyembah binatang buas, karena takut
keganasannya seperti singa dan ular. Penduduk mesir kuno pun menyembah dua
hewan ini.
10.
Ada pula yang menyembah hewan-hewan yang bermanfaat
sebagai wujud memuliakan manfaatnya seperti sapi.
11.
Ada pula yang menyembah sungai-sungai, penduduk Mesir
yang menyembah sungai Nil dan ber-taqarub dengan melemparkan wanita yang paling
cantik serta dihiasi dengan perhiasan dan pakaian yang indah agar menjadi
permaisurinya.
Demikian pula penduduk india yang menyembah sungai
gangga, mereka mengatakan bahwa air adalah sumber kehidupan, karena itu ia
berhak disembah.
12.
Ada pula yang menyembah api, seperti penduduk parsi serta
13.
Menyembah kilat dan lain sebagainya
Terhadap segala bentukpenyembahan walau yang disembah
berbeda satu dengan yang lain, Nabi SAW tidak membedakannya. Nabi SAW bahkan
menerangi sagala bentuk kesyirikan. Sebagaimana dalam firman-Nya :
وَقَاتِلُوهُمْ
حَتَّى لاَتَكُونَ فِتْنَةٌ وَيَكُونَ الدِّينُ كُلُّهُ للهِ فَإِنْ انْتَهَوْا
فَإِنَّ اللهَ بِمَا يَعْمَلُونَ بَصِيرُ (الأنفال : 39 )
“Dan perangilah
mereka, supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu semata-mata untuk Allah.
Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha melihat apa
yang mereka kerjakan”.(Qs. Al-Anfaal : 39)
Menurut Asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz R.A, yang dimaksud
fitnah dalam ayat ini adalah kesyirikan. Dengan demikian, maksud ayat tersebut
adalah sampai tidak ada lagi perbuatan syirik kepada Allah SWT (syarah
al-Qawa’id al-arba’, asy-syaikh Abdul Aziz bin Baz. Hal. 21)
Tingkat kesyirikan yang diperbuat oleh orang-orang pada masa ini lebih rusak dan
dahsyat. Kesyirikan yang dilakukan orang-orang zaman sekarang lebih berat
dibandingkan dengan kesyirikan musyrikin Quraisy dahulu, orang-orang musyrik
pada masa dahulu melakukan perbuatan syirik ketika dalam keadaan lapang dan
tidak ditimpa oleh kesusahan. Jika ditimpa oleh kesusahan, mereka mengikhlaskan
peribadahan (do’a) hanya kepada Allah SWT. Berbeda halnya dengan orang-orang
musyrik masa kini. Mereka berbuat syirik, beribadah, berdo’a kepada selain
Allah SWT kala ditimpa oleh kesusahan ataupun dalam keadaan lapang, tidak ada
kesusahan yang menimpanya.[8]
Jika kita perhatikan kepercayaan manusia diseluruh dunia,
maka kebanyakan mereka melupakan Allah SWT dan menyembah sesembahan yang lain.
Pada dasarnya manusia memiliki sifat mengabdi kepada sesuatu yang dianggapnya telah
memberikan manfaat, maka jangan heran bila kita menemukan bahwa ada yang
menyembah matahari, bulan, bintang, malaikat, nabi, wanita dan sebagainya.
Dikarenakan mereka itu sebenarnya masih mencari sesuatu yang patut mereka
sembah. Pikiran mereka belum tertuju pada Sang Maha Pencipta yakni Allah SWT.
Oleh karena itu, agar mereka semua menyembah Tuhan yang Maha Esa yakni
Allahuraabul aalamin, maka diperlukannya hidayah dan petunjuk Allah kepada
mereka, agar mereka dapat berfikir, siapa yang menciptakan matahari, bulan,
bintang dan sebagainya yang selama ini
mereka sembah, karena segala sesuatu itu sesungguhnya ada yang menciptakan.
C.
Hubungan Kepercayaan (Aqidah) terhadap Kehidupan
Kepercayaan yang berhubungan terhadap kehidupan ini
adalah mengenai kepercayan terhadap agama atau bisa disebut dengan aqidah.
Sesungguhnya aqidah manusia adalah dasar atas semua perilakunya dalam
kehidupan. Oleh karena itu, maka aqidah mempunyai peranan yang paling besar
dalam kehidupan individu dan sosial manusia.
Aqidah manusia dan cabang-cabangnya yang akan membatasi
bentuk manusia dan perilakunya dan akan membentuk esensi batinnya dan
eksistensi luarnya (tingkah lakunya) dan itu semua akan terlihat dalam
perbuatan dan mengiringinya kepada arah kehidupannya. maka barang siapa yang
aqidahnya benar dan sesuai dengan kenyataan yang ada, maka jalan kehidupannya
akan benar juga, tetapi jika aqidahnya tidak benar dan batil, maka jalan
hidupnya tidak akan mengarahkannya kecuali ke arah kesesatan.
Agama Islam sangat memperhatikan dan menganggap sangat
penting kebenaran aqidah sebelum segala sesuatu. Dan sangat jelas sekali bahwa
tidak ada satu agama pun di atas agama islam dalam memperhatikan aqidah, maka
aqidah menurut islam adalah sebuah barometer dalam mengukur tingkah laku dan
perbuatan, sehingga perbuatan yang baik bisa dianggap hilang dari nilainya jika
tidak didasari dengan aqidah yang benar.[9]
Dalam kehidupan masyarakat yang didasarkan oleh keyakinan
agama, tidak jarang dijumpai suatu kehidupan yang mencerminkan kesetiakawanan
dan solidaritas kelompok yang kuat, para anggota masyarakat yang memiliki rasa
agama berusaha menampilkan sikap hidup yang luhur dan terpuji.
Seseorang yang menganut keyakinan islam akan terlihat
menunjukkan sikap hormat ketika masuk ke masjid, ketimbang mereka yang menganut
keyakinan lain. Sikap yang demikian juga akan dijumpai pada penganut agama lain
saat memasuki rumah ibadahnya masing-masing. Bagi setiap penganut agama, rumah
ibadah memberi pengalaman batin tersendiri yang dapat menimbulkan reaksi
terhadap sikap dan tingkah laku masing-masing sesuai dengan keyakinan mereka.
dan banyak contoh lain yang menunjukkan adanya hubungan antara sikap dan
tingkah laku dengan keyakinan yang dianut seseorang.[10]
Hubungan manusia dengan aqidah dalam kehidupannya dapat
juga mempengaruhi kondisi jiwa yang tenang, seperti gelisah, resah, bingung dan
sebagainya. Dalam al-qur’an (ajaran agama islam) disebutkan dengan jelas, bahwa
dengan mengingat Allah jiwa manusia akan menjadi tenang, bahwa al-qur’an adalah
petunjuk, sebagai obat dan sebagainya.[11]
Anak kecil yang baru tumbuh, dengan fitrah yang
dikaruniakan Allah SWT kepadanya, siap untuk menerima suatu kebenaran meskipun
tanpa bukti-bukti, maka sampaikan kepadanya penjelasan aqidah hingga ia hafal.
Setelah itu, ia akan memahaminya sedikit demi sedikit dan apa yang diajarkan
akan meresap ke dalam hatinya.
Dengan demikian (orang tua) tidak lagi membutuhkan banyak
bukti untuk menanamkan aqidah (kepada anaknya) dan tidak perlu tenggelam dalam
alam pikirannya dalam mencari bukti-bukti kecuali hanya yang dibutuhkannya
saja. Kebutuhan itu sendiri muncul jika ia dihadapkan kepada satu masalah dan
hendak mencari jalan keluarnya.[12]
Berikut adalah beberapa hubungan kepercayaan (Aqidah)
terhadap kehidupan, diantaranya :
1.
Hubungan antara akhlak dengan aqidah dan iman
Sesungguhnya antara akhlak dengan aqidah dan iman
terdapat hubungan yang sangat kuat sekali, karena akhlak yang baik itu sebagai
bukti dari keimanan dan akhlak yang buruk sebagai bukti atas lemahnya iman.
Semakin sempurna akhlak seorang muslim berarti kuat imannya, Rasulullah Alaihi
Wa salam, bersabda :
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا
“Kaum mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara
mereka”.
Akhlak yang baik adalah sebagian dari amal shalih yang
dapat menambah keimanan dan memiliki bobot yang berat dalam timbangan, pemiliknya
sangat dicintai oleh Nabi Shallahu Alaihi Wa Sallam dan akhlak yang baik adalah
salah satu penyebab masuk jannahnya seseorang.
Rasulullah SAW bersabda :
مامن شئ أثقل فى ميزان المؤمن يوم القيامة من خلق حسن
“Tidak ada
sesuatu pun yang lebih berat dalam timbangan seorang Mukmin di hari kiamat dari
akhlak yang baik”.
Beliau bersabda pula :
إن من أحبكم وأقربكم مني مجلسا يوم القيامة أحاسنكم أخلاقا
“Sesungguhnya
di antara yang paling aku cintai di antara kalian dan yang paling dekat
majelisnya dariku di hari kiamat adalah yang paling baik akhlaknya di antara
kalian”.
Nabi SAW ditanya tentang kebanyakan yang menyebabkan
manusia masuk jannah, maka beliau menjawab, “Takwa kepada Allah dan akhlak yang
baik”.
Akhlak yang baik mencakup pelaksanan hak-hak Allah dan
hak-hak makhluk. Sebagian manusia ada yang berpendapat bahwa dien islam itu
adalah pergaulan yang baik kepada manusia semata, kejahatan terbesar adalah
merugikan manusia, sehingga terlihat secara lahiriyah ia berperilaku baik
kepada orang lain. Tetapi pada saat yang sama ia menyia-nyiakan hak Allah
dengan berbuat syirik, kufur, bid’ah dan maksiat lainnya, ia berdosa kepada
selain Allah, menyembelih hewan untuk dijadikan sebagai tumbal, menyia-nyiakan
shalat, dan lain-lain. Ketika orang tersebut ditegur, ia mengatakan ini urusan
pribadi dan orang yang berhak ditegur adalah orang yang menyakiti tetangga,
mengambil hak orang lain, mecuri, korupsi dan lain sebagainya. Tidaklah ia tahu
bahwa dosa syirik adalah sebesar-besar dosa dan Allah tidak akan mengampuninya
kecuali jika pelakunya bertaubat.
Sebagaimana Allah berfirman :
إِنَّ
اللهَ لاَيَغْفِرُ أَن يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَادُونَ ذَلِكَ لِمَن يَشَآءُ
وَمَن يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيدًا (النساء : 116)
“Sesungguhnya
Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan dia, Dan dia
mengampuni dosa yang lain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barangsiapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia
lelah tersesat sejauh-jauhnya”.(Qs. An-Nisa : 116)
Disisi yang lain terdapat pula orang yang mengentengkan
masalah akhlah terhadap sesama makhluk dengan menyangka bahwa dien itu
semata-mata menunaikan hak Allah saja tanpa menunaikan hak makluk. Padahal
sesungguhnya menunaikan hak makhluk adalah bagian dari menunaikan hak Allah,
juga telah dijelaskan sebelumnya bahwa terdapat hubungan yang sangat kuat
antara keimanan dan akhlak kepada sesama makhluk.
Rasulullah SAW bersabda :
أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا
“Kaum mukmin
yang paling sempurna imannya adalah yang akhlaknya paling baik di antara
mereka”.
Dan Nabi Muhammad SAW bersabda :
من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فليقل خيرا أو ليصمت
“Barang siapa
yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berkatalah yang baik atau (kalau
tidak bisa) hendaklah ia diam”.
Dan Nabi Muhammad SAW bersabda :
والله لايؤمن والله لايؤمن والله لايؤمن قيل ومن يارسول
الله قال الذي لايؤمن جاره بوايقه
“Demi Allah
seorang tidaklah beriman (beliau mengucapkannya tiga kali), mereka berkat,
“Siapakah wahai Rasulullah ? “Beliau menjawab, “ Orang yang tetangganya tidak
merasa aman dari gangguannya”.
Dan keterangan-keterangan lainnya yang menunjukkan
lainnya yang menunjukkan bahwa seorang Muslim yang beriman kepada Allah dan
Hari Akhir tidaklah berbuat aniaya kepada orang lain.[13]
2. Hubungan
Keimanan Kepada Tuhan Dengan Pendidikan
Keimanan
kepada Tuhan memiliki hubungan yang erat dalam rangka mengembangkan pemikiran
pendidikan. Hubungan tersebut dapat dikemukakan dengan analisis sebagai berikut
:
1. Berkaitan
dengan visi, misi dan tujuan pendidikan
Iman
kepada Tuhan akan mempengaruhi Visi pendidikan, yaitu menjadikan pendidikan
sebagai sarana yang unggul dalam membentuk manusia yang dapat melaksanakan
fungsinya sebagai khalifah Tuhan di muka bumi. Misinya antara lain membentuk
manusia agar beribadah kepada Allah SWT. Manusia yang mengerjakan perbuatan
yang diperintahkan Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya. Tujuannya adalah
membentuk manusia yang beriman, bertaqwa, berbudi pekerti yang luhur, menjadi
hamba Allah SWT, menjadi orang yang seimbang dalam hubungannya dengan Tuhan dan
dengan sesame manusia, manusia yang sehat jasmani dan rohaninya, dan manusia
yang berbudi pekerti mulia dan manus yang rela berjuang di jalan Allah SWT.
2. Berkaitan
dengan ideology pendidikan.
Iman
kepada Tuhan akan menjadi landasan ideology pendidikan yang humanism
teocentris, yakni pendidikan yang bukan semata-mata didasarkan pada
nilai-nilai yang berasal dari akal pikiran manusia, melainkan juga nilai-nilai
yang didasarkan pada kehendak Allah SWT. Dalam islam pendidikan ditentukan oleh
usaha manusia dan kehendak Tuhan. Oleh sebab itu, jika seorang guru berhasil
melaksanakan pendidika, hendaknya tidak sombong, ia harus mengajak para
muridnya terlebih dahulu berterima kasih kepada Tuhan, baru kemudian kepada
guru, karena tuhanlah yang menciptakan dan memberi kemampuan mendidik kepada
guru tersebut.
3. Berkaitan
dengan sifat dan karakter pendidik dan peserta didik
Iman
kepada Tuhan mengharuskan para pendidik dan peserta didik memiliki sifat-sifat
sebagaimana sifat-sifat yang dimiliki Tuhan. Jika manusia meyakini bahwa Allah
SWT bersifat Maha Pengasih dan penyayang, Maha Mengetahui, Maha Kreatif, Maha
Bijaksana, Maha Adil, dan seterusnya, maka sebaiknya manusia menghiasi dirinya
dengan sifat-sifat tersebut, yakni menjadi manusia yang pengasih dan penyayang,
meningkatkan dan mengembangkan ilmunya, kreatif dalam melahirkan gagasan dan
karya-karya baru, bijaksana dan adil dalam membuat keputusan dan seterusnya.
4. Berkaitan
dengan sumber-sumber pendidikan
Iman
kepada Allah SWT mengajarkan bahwa alam jagat raya dengan segala isinya berupa
bumi, langit, gunung, tanah, air, api, tumbuh-tumbuhan, binatang, dan
benda-benda lainnya, seperti emas, perak, tembaga, platina, gas, minyak bumi,
dan sebagainya adalah ciptaan-NYa. Semua itu harus dipergunakan secara
bertanggung jawab sesuai dengan kehendaknya, misalnya harus seimbang antara
yang ditebang dengan yang ditanam atau yang digali dengan ditimbun, harus pula
dengan ramah, tidak merusak, tidak mencemari, tidak boros dan tidak digunakan
untuk berbuat dosa kepada-Nya, melainkan untuk beribadah kepada-Nya. Alam jagat
raya yang demikian itulah yang selanjutnya digunakan sebagai sarana dan
prasarana serta media dalam pendidikan.[14]
Adapun
fungsi dari peranan aqidah sebagai berikut :
1. Menuntun
dan mengembangkan dasar ketuhanan yang dimiliki manusia sejak lahir
Manusia
sejak lahir memiliki potensi keberagaman (fitrah) sehingga sepanjang hidupnya
membutuhkan agama dalam rangka mencari keyakinan terhadap tuhan. Aqidah
berperan memenuhi kebutuhan fitrah manusia tersebut, menuntun, dan mengarahkan
manusia pada keyakinan yang benar tentang Tuhan, tidak menduga-duga atau
mengira-ngira melainkan menunjukkan Tuhan yang sebenarnya.
2. Memberikan
ketenangan dan ketentraman jiwa
Agama
sebagai kebutuhan fitrah akan senantiasa menurut dan mendorong manusia untuk
terus mencarinya. Aqidah memberikan jawaban yang pasti sehingga kebutuhan
ruhaniahnya dapat terpenuhi, ia memperoleh ketenangan dan ketentraman jiwa yang
diperlukannya.
3. Memberikan
pedoman hidup yang pasti
Keyakinan
terhadap Tuhan memberikan arahan dan pedoman yang pasti sebab aqidah
menunjukkan kebenaran keyakinan yang sesungguhnya. Aqidah memberikan
pengetahuan asal dan tujuan hidup manusia sehingga kehidupan manusia akan lebih
jelas dan lebih bermakna.[15]
Aqidah
islam sebagai keyakinan akan membentuk perilaku bahkan mempengaruhi kehidupan
seorang muslim. Abu A’la Al Maududi menyebutkan pengaruh aqidah tauhid sebagai
berikut :
a. Menjauhkan
manusia dari pandangan yang sempit dan picik
b. Menanamkan
kepercayaan terhadap diri sendiri dan tahu harga diri
c. Menumbuhkan
sifat rendah hati dan khidmat
d. Membentuk
manusia menjadi jujur dan adil
e. Menghilangkan
sifat murung dan putus asa dalam menghadapi setiap persoalan dan situasi
f. Membentuk
pendirian yang teguh, kesabaran, ketabahan, dan optimism
g. Menanamkan
sifat kesatria, semangat dan berani, tidak gentar menghadapi resiko, bahkan
tidak takut kepada maut.
h. Menciptakan
sikap hidup damai dan ridho
i. Membentuk
manusia menjadi patuh, taat dan disiplin dalam menjalankan peraturan ilahi
Aqidah
atau iman yang dimiliki seseorang tidak selalu sama dengan orang lain. Ia
memiliki tingkatan-tingkatan tertentu bergantung pada upaya orang itu. Iman
pada dasarnya berkembang, ia bias tumbuh subur atau sebaliknya, iman yang tidak
diperlihara akan berkurang, mengecil atau hilang sama sekali.
Tingkatan
aqidah tersebut adalah :
a. Taqlid,
yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas pendapat orang yang diikutinya
tanpa dipikirkan
b. Yakin,
yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas bukti dan dalil yang jelas, tetapi
belum sampai menentukan hubungan yang kuat antara obyek keyakinan dengan dalil
yang diperolehnya. Hal ini memungkinkan orang terkecoh oleh sanggahan-sanggahan
atau dalil-dalil lain yang lebih rasional dan lebih mendalam.
c. ‘Ainul
Yakin, yaitu tingkat keyakinan yang didasarkan atas dalil-dalil rasional,
ilmiah dan mendalam, sehingga mampu membuktikan hubungan antara obyek keyakinan
dengan dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang rasional terhadap
sanggahan-sanggahan yang dating, ia tidak mungkin terkecoh oleh argumentasi
lain yang dihadapkan kepadanya.
d. Haqqul
Yakin, yaitu tingkatan keyakinan yang disamping didasarkan atas dalil-dalil
rasional, ilmiah, dan mendalam, dan mampu membuktikan hubungan antara obyek
keyakinan dengan dalil-dalil serta mampu memberikan argumentasi yang rasional
dan selanjutnya dapat menemukan dan merasakan keyakinan tersebut melalui
pengalaman agamanya.[16]
Adapun
yang dapat menyempurnakan aqidah yang benar terhadap Allah adalah beraqidah
dengan benar terhadap malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya yang diturunkan
kepada para rasul dan percaya kepada para rasul utusan-Nya yang mempunyai sifat
jujur dan amanah dalam menyampaikan risalah Tuhan mereka.
Aqidah
yang benar kepada Allah harus diikuti dengan aqidah atau kepercayaan yang benar
terhadap kekuatan jahat dan setan. Merekalah yang mendorong manusia untuk
durhaka kepada Tuhan-Nya. Mereka menghiasi manusia dengan kebatilan dan
syahwat, merekalah yang merusak hubungan baik yang telah terjalin kebatilan dan
syahwat, merekalah yang merusak hubungan baik yang telah digariskan Allah dalam
penciptaannya, agar dia dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang tidak
mengikuti setan dan menyiksa orang yang menaatinya. Dan semua ini berlaku
setelah Allah memperingatkan umat manusia dan mengancam siapa saja yang
mematuhi setan tersebut.
Ketidak
beresan dari adanya keresahan yang selalu menghiasi kehidupan manusia timbul
sebagai akibat dari penyelewengan terhadap akhlak-akhlak yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Penyelewengan ini tidak akan mungkin
terjadi jika ada kesalahan dalam beraqidah, baik kepada Allah, malaikat, rasul,
kitab-kitab-Nya maupun hari akhir.[17]
Berdasarkan
teori-teori diatas disimpulkan bahwa semua tindakan dan perbuatan yang kita
lakukan harus didasari dengan ilmu dan kepercayaan sehingga segala perbuatan
yang kita lakukan ada nilai dan kandungannya. Dengan kata lain bahwa peranan
perbuatan baik ada manfaatnya dalam mencapai kesempurnaan. Manusia bergantung
atas kebenaran aqidahnya, maka tidak cukup bagi manusia, dikatakan aqidahnya
benar, padahal ia ingkar ataupun ragu-ragu terhadap aqidahnya. Sesungguhnya
aqidah adalah pendorong utama bagi manusia untuk melakukan suatu pekerjaan. Dan
keimanan kepada Tuhan merupakan inti ajaran seluruh agama di dunia dan menjadi
bahan kajian dalam berbagai bidang ilmu, ini menunjukkan bahwa keimanan
merupakan hal yang penting bagi kehidupan manusia.
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kepercayaan
merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh setiap orang. Kepercayaan adalah sesuatu
yang kita yakni kebenarannya dan ketentraman. Oleh karena itu, tidak ada
manusia yang tidak memiliki kepercayaan di dalam dirinya karena keberadaannya
sangat dibutuhkan untuk memperoleh ketentraman hidup. Di sebabkan kepercayaan
itu diperlukan oleh manusia, maka banyak ditemui bentuk kepercayaan yang
beraneka ragam di masyakarat.
Bukan
hanya pada masa ini banyak dikemukan keberagaman kepercayaan, sejak masa
jahiliyah ternyata banyak sekali keberagaman kepercayaan. Karena orang-orang
Arab atau masyarakat pada umumnya pada masa jahiliyah ini belum menemukan
kepercayaan yang sebenarnya, mereka masih memegang teguh tradisi nenek moyang
seperti penyembahan pada bebatuan dan kayu, hal ini juga telah dijelaskan di
dalam kitab suci Al-Qur’an.
Kepercayaan
di samping dianaut sebagai sebuah kebutuhan, sekaligus juga ia harus diyakini
sebagai sebuah kebenaran. Kepercayaan itu harus kuat dan benar, sehingga dapat
mendorong jiwa dan raga kea rah perbuatan-perbuatan yang diwajibkan dan dapat
menjauhkan diri dari segala yang terlarang. Karena manusia bergantung atas
kebenaran aqidahnya, maka tidak cukup bagi manusia dikatakan aqidahnya benar,
padahal ia ingkar ataupun ragu-ragu terhadap aqidahnya, sesungguhnya aqidah
adalah pendorong utama bagi manusia untuk melakukan suatu pekerjaan.
B. Saran-saran
Sebagai
akhir dari penulisan karya tulis ini, penulis ingin memberikan saran kepada
para pembaca sebagai berikut :
1. Hendaknya
kita memperkuat iman dan menjauhi segala keyakinan, ungkapan dan perbuatan yang
sesat dan menyesatkan.
2. Kita
harus menjaga aqidah kita karena setiap amal serta ucapan dipandang benar dan
dapat diterima, hanya bila dengan aqidah yang benar.
3. Semua
tindakan dan perbuatan yang kita lakukan harus didasari dengan ilmu dan
kepercayaan, sehingga segala perbuatan yang kita lakukan ada nilai dan
kandungannya. Dengan kata lain, bahwa peranan perbuatan baik ada manfaatnya
dalam mencapai kesempurnaan hidup.
DAFTAR
PUSTAKA
Abuddin
Nata, Haji. 2012. Pemikiran Pendidikan Islam & Barat. Jakarta : Rajawali
Pers
Anuz,
Fariq Gasim. 2009. Bengkel Akhlak. Jakarta : Darus Sunnah
Ath-Thahir,
Musthafa Muhammad Al-Hadidi. 2006. Percikan Cahaya Ilahi. Jakarta : Qisthi
Press
Bell,
Richard. 1995. Pengantar Studi Al Qur’an. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Ghazali
Imam. 2008. Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin. Jakarta : SAHARA Publishers
Hasan,
Alwi. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta : Balai Pustaka
Mahmud,
Ali Abdul Halim. 2004. Akhlak Mulia. Jakarta : Gema Insani Press
Muin,
Abdul. 1997. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga
Mutiara
Ramayulis,
Haji. 2011. Psikologi Agama. Jakarta : Kalam Mutiara
Suharto,
Rudhy. 2003. Renungan Jum’at ; Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Al-Huda
Sururin.
2004. Ilmu Jiwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada
Syarifuddin,
Abdul Faruq Ayib. Asy-syariah No 67/VI/1432 H/2010. Di Jogjakarta : Oase Media
[1]
http://ashrilfathoni.wordpress.com/2012/03/19/bahkan
-ajar-perkembangan-sistem-kepercayaan-masyarakat-indonesia/
[2]
Drs. Abdul Muin. 1997. Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi.
Bandung : Tiga Mutiara. Hal 94-96
[3]
Prof. Musthafa Muhammad Ath-Thaif. 2006. Percikan Cahaya Ilahi. Jakarta :
Qisthi Press. Hal. 15
[4]
Abdul Faruq Syafruddin. Asy-Syariah No. 67/VI/1432 H/2010. Di Jogjakarta :
Oase Media. Hal. 7
[5]
W. Mongtomery watt. 1995. Pengantar Studi Al-Qur’an / Richard Bell. Jakarta
: PT Raja Grafindo Persada. Hal. 235
[6]
Prof. Musthafa Muhammad Ath-Thair. 2006. Percikan Cahaya Ilahi. Jakarta :
Qisti Press, hal. 19
[7]
W. Mongtomery Watt. 1995. Pengantar Studi Al-Qur’an. Jakarta : PT Raja
Grafindo Persada. Hal. 243
[8]
Abdul Faruq Ayib Syarifuddin. As-syariah No 67/VI/1432 H/2010. Jogjakarta :
Oase Media, hal. 7
[9]
Rudhy Suharto.2003. Renungan Jum’at Meraih Cinta Ilahi. Jakarta : Al Huda,
hal. 42
[10]
Prof. Dr. H. Ramayulis. 2011. Psikologi Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada, hal. 8
[11]
Sururin, M.Ag.2004. Ilmu JIwa Agama. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
hal. 179
[12]
Imam Ghazali. 2008. Ringkasan Ihya ‘Ulumuddin. Jakarta : SAHARA Publishers,
hal. 67
[13]
Fariq Gasim Anuz. 2009. Bengkel Akhlak. Jakarta : Darus Sunnah, hal. 48
[14]
Prof. Dr. H. Abuddin Nata,
MA. 2012. Pemikiran Islam & Barat. Jakarta : Rajawali Pers, hal. 59-61
[15]
Drs. Abdul Muin . 1997.
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga Mutiara, hal. 96
[16]
Drs. Abdul Muin. 1997.
Pendidikan Agama Islam Untuk Perguruan Tinggi. Bandung : Tiga Mutiara, hal. 97
[17]
Dr. Ali Abdul Halim Mahmud.
2004. Akhlak Mulia. Jakarta : Gema Insani Press, hal. 84